Senin, 23 Mei 2011

BILA SELALU MENGINGAT MATI

Sehalus-halus kehinaan disisi Allah adalah tercabutnya kedekatan kita dari sisi-Nya. Hal ini biasanya ditandai dengan kualitas ibadah yang jauh dari meningkat, bahkan malah menurun. Tidak bertambah bagus ibadahnya, tidak bertambah pula ilmu yang dapat membuatnya takut kepada Allah. Bahkan justru maksiat pun sudah mulai dilakukan, dan parahnya yang bersangkutan tidak merasa rugi. Inilah tanda-tanda tercabutnya nikmat berdekatan bersama Allah Azza wa Jalla.
Pantaslah bilah imam Athoilah pernah berujar : ”Rontoknya iman ini akan terjadi pelan-pelan, terkikis sedikit demi sedikit, sampai akhirnya tanpa terasa habis tandas tidak tersisa”. Demikianlah yang terjadi bagi orang yang tidak berusaha memelihara iman dalam kalbunya.
Ada sebuah kejadian yang semoga dengan mengungkapkannya dalam forum ini ada hikmah yang bisa diambil. Kisahnya dari seorang teman yang waktu itu nampak begitu rajin beribadah, saat sholat ia selalu berlinang air mata, sholat tahajjud pun tak pernah putus, bahkan anak dan istrinya ia ajak sholat berjamah ke masjid. Selidik punya selidik, ternyata saat itu ia sedang menanggung hutang. Oleh karenanya diantara ibadah-ibadahnya itu, ia selipkan doa-doa agar utangnya segera terlunasi. Selang beberapa lama, Allah Azza wa Jalla, Zat yang Maha kaya dan Maha mengabulkan setiap do’a hamba-Nya berkenan menyelesaikan urusan sodara kita tersebut.

Sayangnya begitu utang terlunasi do’anya mulai jarang, hilang pula motivasi untuk beribadah. Biasanya kehilangan sholat Tahajjud ia menangis tersedu-sedu sampai menegur Allah ”Mengapa Engkau tidak membangunkan aku, Ya Allah..??” seakan menyesali diri. Tapi lama kelamaan tahajjud mulai tertinggal, justru menjadi senang karena jadwal tidur bertambah cukup. Bahkan sebelum adzan biasanya sudah berangkat ke masjid, lama kelamaan datang ke masjid justru ketika adzan. Hari berikutnya, ketika adzan tuntas baru selesai wudhu. Lain lagi pada esok harinya, ketika adzan selesai justru masih di rumah. Hingga akhirnya ia pun memutuskan untuk sholat di rumah saja.
Begitupun untuk shalat sunat, biasanya ketika masuk masjid mesti shalat sunat Tahiyatul masjid terlebih dulu dan shalat fardhu pun selalu di barengi dengan shalat Rawatib. Tapi sekarang datang lebih awal pun malah berpura-pura berdiri menunggu iqomat, selalu ada saja alasannya. Sesudah iqomat biasanya langsung memburu shaf awal, kini yang diburu justru shaf paling tengah, hari berikutnya ia memilih shaf sebelah pojok, bahkan lama-lama rebutan shaf dekat pintu. Dengan alasan supaya tidak dibilang terlambat 2x ”kalau datang terlambat, maka ketika pulang aku tidak boleh terlambat lagi, pokoknya duluan..!!”
Saat akan shalat sunat rawatib, ia malah menundanya dengan alasan nanti akan dirumah saja, padahal ketika sampai di rumah tidak di kerjakan. Entah disadari atau tidak, ternyata pelan-pelan, banyak ibadah yang ditinggalkan, sedikit demi sedikit, kita menjauh dari Allah Swt. Ketika zikir pun biasanya selalu di hayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di mulut, dengan suasana hati, sama sekali bak gayung tak bersambut. Mulut mengucap, tapi hati malah keliling dunia.Saat-saat berdo’a pun menjadi kering, tidak lagi memancarkan ruhiyah, tidak ada sentuhan ketulusan, inilah tanda-tanda hati mulai mengeras. Na’udzu billah...
Kalau kebiasaan ibadah sudah mulai tercabut satu persatu, apalagi ketika ibadah sholat yang merupakan benteng dari perbuatan keji dan mungkar sudah mulai lambat dilakukan, bahkan mulai ditinggalkan. Akibat selanjutnya pun mudah di tebak, ketahanan penjagaan diri menjadi blong. Kata-katanya menjadi kasar, mata jelalatan tak terkendali, dan emosi pun mudah membara. Hingga akhirnya meninggalah ia dalam keadaan hilang keyakinannya kepada Allah. Inilah yang disebut Su’ul Khatimah ( akhir yg jelek ). Na’udzubillah.
*** Apalah artinya hidup kalau akhirnya seperti ini. ***

Ada lagi sebuah kisah pilu, ketika suatu waktu bersilaturahmi ke suatu daerah. Kisahnya ada seorang wanita muda yang tidak bisa menjaga diri dalam pergaulan dengan lawan jenis, sehingga dia hamil. Sedangkan laki-lakinya tidak tahu entah kemana (tidak bertanggung jawab). Ketika putus asa si wanita ini minta tolong kepada seorang pemuda masjid, di tolonglah dia untuk melakukan persalinan di suatu klinik bersalin, hingga ia bisa melahirkan dengan lancar. Walau tidak jelas siapa ayahnya, akhirnya si wanita ini pun menjadi ibu dari seorang bayi mungil.
Sayangnya sesudah beberapa lama ditolong, sifat-sifat jahiliyahnya kambuh lagi. Mungkin karena iman dan ilmunya masih kurang, bahkan ketika di nasehati pun tidak mempan hingga akhirnya dia terjerumus lagi. Wal hasil, dia hamil lagi di luar nikah tanpa ada pria yang mau bertanggung jawab. Na’udzubillah...
Lalu di tolonglah ia oleh seseorang yang ternyata aqidahnya beda. Si orang yang akan membantu pun menawarkan bantuan keuangan dengan catatan harus pindah agama terlebih dahulu. Si wanita itu pun menyetujuinya, dan dalam hatinya bergumam ”Toh, hanya untuk persalinan saja. Setelah melahirkan aku akan masuk islam lagi”. Tapi ternyata Allah menentukan lain, saat persalinan itu justru malaikat Izrail datang menjemput, dan meninggalah si wanita tersebut dalam keadaan Murtad, Na’udzubillah...
*****

Cerita ini nampaknya bersesuaian dengan sebuah kisah klasik dari Imam Ghozali :
Suatu ketika ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menjadi muadzin di sebuah menara tinggi di samping masjid. Kebetulan di samping masjid itu ada sebuah rumah yang ternyata di huni oleh sebuah keluarga non muslim, diantara anak-anak dalam keluarga itu ada seorang anak gadis berparas cantik yang sedang brangkat remaja.
Tiap naik menara untuk adzan, secara tidak sengaja tatapan mata sang muadzin selalu tertumpu pada si anak gadis itu, begitu pula ketika turun dari menara seperti pepatah mengatakan ”dari mata turun ke hati”. Begitulah saking seringnya memandang, hati sang muadzin pun mulai terpaut akan paras cantik si anak gadis itu. Bahkan saat adzan yang di ucapkan di mulut ”Allahu Akbar 2x ” tapi hatinya malah khusyu memikirkan anak gadis itu.
Maka karena sudah tidak tahan lagi, sang muadzin nekad mendatangi rumah si anak gadis tersebut dengan tujuan untuk melamarnya. Namun orang tua anak gadis itu menolak mentah-mentah, apalagi jika anak gadisnya harus berpindah keyakinan karena mengikuti agama calon suaminya, sang muadzin yang beragama islam. ”Selama engkau masih memeluk agam islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku izinkan anaku menjadi istrimu”. ujar si Bapa, seolah-olah memberi isyarat agar sang muadzin ini agar masuk agama keluarganya terlebih dahulu.
Berpikir keraslah sang muadzi ini, hanya sayang saking ngebetnya pada gadis ini, pikirannya sudah tidak mampu berpikir jernih, hingga akhirnya di hatinya terbersit sebuah niat ”Ya Allah, saya ini sudah bertahu-tahun adzan untuk mengingatkan dan mengajak manusia menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu, dan telah memberikan balasan pahala yang setimpal, tetapi saat ini aku mohon beberapa saat saja ya Allah, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak gadis ini, setelah menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam”. Baru saja dalam hatinya tebersit niat seperti itu, dia terpeleset jatuh dari tangga menara yang cukup tinggi. Akhirnya sang muadzin meninggal dalam keadaan murtad dan Su’ul Khotimah. Na’udzubillah...
******

Kalau kita simak uraian-uraian kisah tadi, nampaklah bahwa salah satu hikmah yang dapat kita ambil darinya adalah jikalau kita sedang berbuat sesuatu yang kurang bermanfaat bahkan zhalim, maka salah satu teknik mengeremnya adalah dengan ’Mengingat Mati’.
Bagaimana kalau tiba-tiba meninggal, padahal kita sedang berbuat maksiat, zhalim atau aniaya? Tidak takutkah kita mati dalam keadaan Su’ul Khatimah? Na’udzubillah. Ternyata ingat mati menjadi bagian yang sangat penting setelah doa dan ikhtiar kita dalam memelihara iman di relung kalbu ini. Artinya jika ingin meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, maka selalulah ingat mati.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw ”Ingatlah kematian, Demi dzat yang nyawaku berada dalam genggamanya, jika engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan tertawa sedikit dan banyak menagis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar